- Back to Home »
- MUHAMMAD IQBAL DAN PEMIKIRANNYA
Posted by : Unknown
Senin, 27 April 2015
a.
Latar Belakang Biografinya :
Muhammad Iqbal
berasal daari keluarga golongan menengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada
tahun 1876. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar di
sana sampai ia memperoleh gelar kesarjaaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan
dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan, menorong
pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggeris. Di tahun 1905 ia pergi ke
negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua
tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sinilah ia memperoleh
gelar Ph.D. dalam tasawwuf. Tesis doktoral yang dimajukannya berjudul : The
Development of Metaphhysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[1]
Pada tahun 1908
ia berada kembali di Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia
menjadi dosen falsafat. Bukunya The Reconstruction of Relegious Thought in Islam
adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di
India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi
Presiden Liga Muslimin. Di dalam Perundingan Meja Bundar di London ia turut dua
kali mengambil bahagian. Ia juga menghadiri Konferensi Islam yang diadakan di
Yerussalem. Di tahun 1933 ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia enam puluh dua tahun ia meninggal di
tahun 1938.
b.
Pokok-pokok Pemikirannya :
Berbeda dengan
pembaharu-pembaharu lain, Muhamamd Iqbal adalah penyair dan filosof. Tetapi
pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan ummat Islam mempunyai pengaruh
pada gerakan pembaharuan dalam Islam.[2]
Sama dengan
pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama
lima ratus tahun terkahir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam
Islam telah sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam
berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah akan
membawa kepada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam
sebagai kesatuan ppolitik. Untuk memelihara kesatuan itu kaum konservatif
tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan
diam.
Sebab lain
terletak pada pengaruh zuhd yang terdapat dalam ajaran tasawwuf. Menurut
tasawwuf yang mementingkan zuhd, perhatian harus dipusatkan kepada Tuhan
dan apa yang berada di sebalik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada
keadaan ummat kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.[3]
Sebab terutama ialah hancurnya Baghdad, sebagai
pusat kemajuan pemikiran ummat Islamn di pertengahan abad ketiga belas. Untuk
mengelakkan disintegrasi yang lebih mendalam, kaum konservatif melihat bahwa
perlu diusahakan dan dipertahankan keseragaman hidup sosial dari seluruh ummat.
Untuk itu mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang
teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad
mereka tutup. Hukum dalam Islam sebenarnya, demikian Iqbal, tidak bersifat
statis, tetapi dapat berkembang sesuai perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak
pernah tertutup.
Islam pada
hakikatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa
menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam
seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang
yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta
terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan
senantiasa berkembang. Kamajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti di
antara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Ini mengandung arti dinamisme.[4]
Islam menolak
konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam
mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perobahan dalam
hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perobahan
itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai keduddukan penting dalam pembaharuan dalam
Islam.
Faham dinamisme
Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting
dalam pembaharuan di India. Dalam syiar-syiarnya ia mendorong ummat Islam
supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang
hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada ummat Islam supaya
bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga
ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.[5]
Dalam pembaharuannya
Iqbal tidak berpendapat bahwa Baratlah yang harus dijadikan sebagai model.
Kapitalisme dan impearalisme Barat tak dapat diterimanya. Barat menurut
penilaiannya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai
meninggalkan agama. Yang harus diambil ummat Islam dari Barat hanyalah ilmu
pengetahuannya. Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme Baat ia terima. Ia
bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme di Barat dan di Rusia, antara
Islam dan sosialisme ia lihat ada persamaan.
Nasionalisme ia
tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia
melihat bibit materialisme dan ateisme dan keduanya
merupakan ancaman besar bagi perikemanusiaan. Nasionalisme India yang mencakup
Muslim dan Hindu adalah ide yang bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat
diwujudkan. Ia curiga bahwa di belakang nasionalisme India terletak konsep
Hinduisme dalam bentuk baru.
Ide Iqbal bahwa
ummat Islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu memerlukan satu
negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendiriannya tentang
persaudaraan dan persatuan ummat Islam. Ia bukanlah seorang nasionalisme dalam
arti yang sempit. Ia sebenarnya adalah seorang pan Islam. Islam demikian ia
menjelaskan, bukanlah nasionalisme dan bukan pula imperalisme, tetapi Liga
Bangsa-bangsa. Islam dapat menerima batas-batas yang memisah satu daerah dari
yang lain dan dapat menerima perbedaan bangsa hanya untuk memudahkan soal
hubungan antara sesama mereka. Batas dan perbedaan bangsa itu tidak boleh
mempersempit ufuk pandangan sosial ummat Islam. Bagi Iqbal dunia Islam
seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas Republik-republik, dan
Pakistan yang akan dibentuk adalah salah satu Republik itu.
Pengaruh Iqbal
dalam pembaharuan India ialah menimbulkan faham dinamisme di kalangan ummat
Islam dan menunjukan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar
sebagai ummat minoritas di anak benua itu mereka dapat hidup bebas dari
tekanan-tekanan dari luar.
Muhammad Iqbal
filsuf dan penyair Islam yang banyak menghasilkan karya dalam bidang puisi,
filsafat, hukum, pemikiran Islam dan kebudayaan. Iqbal menulis dalam rangka
menjawab pertanyaan; mungkinkah cara filsafat rasional yang murni untuk agama.
Pemikiran Iqbal ini dilatarbelakangi oleh kesadarannya bahwa sudah selama 500
tahun terakhir ini pemikiran dalam Islam praktis terhenti setelah masa-masa
kejayaannya berlalu. Dan di saat vakum ini menyebabkan tertariknya dunia Islam
ke arah Barat. Sesuatu yang menurut Iqbal tidak dapat disalahkan, karena memang
kebudayaan Barat (Eropa) pada hakekatnya dari segi intelektualnya merupakan
perkembangan lanjutan dari beberapa fase yang sangat penting dari kebudayaan
Islam. Menurutnya, yang perlu kita khawatirkan hanyalah bahwa kulit luar
kebudayaan Eropa yang menyilaukan itu dapat juga menjerat langkah kita dan
boleh jadi gagal dalam mencapai intisari yang sebenar-benarnya dari kebudayaan
itu.Dalam pandangan Iqbal, berabad lamanya sewaktu umat Islam dalam berada
dalam kepulasan intelektual, Eropa telah benar-benar berpikir ke arah
masalah-masalah besar yang sejak dahulu telah menarik perhatian filsuf-filsuf
dan sarjana-sarjana Islam. Eropa telah berhasil memunculkan pandangan-pandangan
baru dan persoalan-persoalan lama diolah di bawah cahaya pengalaman baru, dan
persoalan-persoalan baru pun bermekaran di mana-mana.
Ilmu
pengatahuan maju dengan pesatnya dan ini mempengaruhi angkatan muda Islam di Asia
dan Afrika yang menghendaki suatu pengupasan baru tentang kepercayaan
mereka. Oleh karena itu, Iqbal
menegaskan perlunya menyelidiki kembali kebangkitan Islam serta menganalisis
ulang apa sesungguhnya yang dipikirkan Eropa dan sampai di mana kesimpulan-kesimpulan
yang telah dicapainya itu bisa membantu kita dalam mengadakan revisi, jika
perlu melakukan rekonstruksi atas pikiran agama dalam Islam. Tentu saja revisi
yang dimaksudkan di sini tidak sama artinya dengan melakukan penafsiran tentang
Islam yang keluar dari bingkai kaidah berpikir yang tersurat dan tersirat di
dalam kandungan Al-Quran dan Al-Hadits sehingga bertindak sekehendak hati
sekedar memenuhi hasrat hawa nafsu. Revisi dimaksudkan lebih kepada upaya
memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam menafsirkan dan mengaplikasikan
ajaran agama ke dalam sendi-sendi kehidupan, mereposisi ulang kepada jalur yang
sesungguhnya dan merekonstruksikan kembali pemikiran agama yang mencerahkan
bukan menyesatkan. Penjelasan ini hendak menegaskan kepada segenap kaum
muslimin agar tidak menciptakan rekam jejak yang keluar jalur pemikiran Islam,
tetapi sebaliknaya selalu mengarahkan pandangan dan pedomannya kepada Al-Quran
dan Al-Hadits dengan penguasaan yang paripurna dan bukan dengan
penggalan-penggalan interpretasi yang menyesatkan untuk selanjutnya menularkan
ide busuk seperti kanker yang menggerogoti kesehatan tubuh. Ide yang ditularkan
semestinya haruslah ide yang sehat dan mampu membangkitkn kesadaran dalam
menjalankan kemurnian beragama.
Ide haruslah
maslahat dalam kemanfaatannya, sebab ide dalam pandangan Iqbal adalah unsur
yang vital dalam agama. Sedangkan agama??alam pandangan Prof. Whitehead seperti
dikutip Iqbal??dalah suatu kebenaran umum yang membawa akibat merubah watak
manusia bila benar-benar dipegang dan dipahami sepenuh-penuhnya. Karena
perubahan watak dan tuntutan hidup manusia adalah tujuan pokok bagi agama, maka
kebenaran umum yang dikandungnya tidak seharusnya tinggal terbengkalai. Artinya
kita boleh saja berpikir dengan semangat filsafat, yang menurut Iqbal adalah
semangat penelaahan secara bebas. Segala macam ketentuan diragukannya.
Rekaan-rekaan pikiran manusia yang tidak kritis diikuti sampai ke tempat-tempat
tersembunyi, tetapi haruslah berkesudahan dengan menolak atau menerima dengan hati
terbuka bahwa akal mempunyai kelemahan untuk sampai kepada kebenaran tertinggi.
Pada tataran
ini hidup kita membutuhkan satu kata iman. Iman adalah intisari agama yang
dikatakan Iqbal seperti burung, melihat jalannya yang tak berjejak dan tak
dituntun oleh intelek. Iman adalah seperti isi pikir (cognitive content)
yang bergejolak dengan berbagai pandangan yang hadir dan saling bertentangan.
Jika iman adalah perumpamaan isi pikir, maka tergantung kepada kita mau kita
arahkan kemanakah isi pikir kita. Mengikuti jalan yang lurus ataukah jalan
menyimpang yang selalu bertentangan dengan pedoman Al-Quran dan Al-Hadits.
Prof. Withehead seperti dikutip Iqbal-- mengatakan bahwa usia iman itu memang
setua usia rasionalisme. Tetapi untuk memasukkan iman ke dalam rasio tidaklah
berarti mengakui keunggulan filsafat atas agama. Jadi meskipun filsafat
mempunyai kuasa menilai agama, tetapi yang dinilainya itu sudah sedemikian rupa
sehingga agama tidak akan dapat takluk begitu saja pada kekuasaan filsafat,
kecuali atas syarat-syaratnya sendiri. Sebab agama bukanlah masalah sebagian
kehidupan manusia, bukan pula sekedar pikiran, bukan hanya perasaan, bukan
sekedar amalan saja; tetapi agama adalah pernyataan manusia selengkapnya dan
seutuh-utuhnya.
Oleh karena
itulah Islam menurut Iqbal-- menolak pandangan filsafat Yunani yang telah
berupaya mengaburkan pandangan ahli-ahli pikir Islam terhadap Al-Quran.
Meskipun, sesungguhnya Islam tidak menolak filsafat, dalam pengertian selama
filsafat tidak mengecilkan arti agama hanya sebatas konsepsi logika yang
berakhir pada sikap negatif semata. Jadi sesungguhnya agama telah menuntun
jalan iman kita kepada jalan yang sebenarnya. Maka pemahaman kita terhadap
agama secara paripurna atau komprehensif akan memudahkan kita dalam memahami berbagai
persoalan keimanan yang kita pilih dan kita tempuh. Sehingga dengan demikian
persoalan iman dalam hal ini tidaklah dapat kita lepaskan (bebaskan) dari
ikatan-ikatan keagamaan formal. Tesis ini menolak sama sekali pandangan saudara
Luthfi Assyaukanie yang dimuat pada kolom Bentara Kompas (3 September 2005),
yang mengatakan bahwa independensi iman adalah sesuatu yang penting sehingga
membebaskannya dari ikatan-ikatan keagaamaan formal. Bahwa kedekatan dengan
Tuhan atau perjumpaan dengan sesuatu yang agung tidak mesti harus lewat
cara-cara yang digariskan agama tertentu. Luthfi yang adalah pengusung paham
liberalisme ini menuliskan tentang iman kaum fideisme dalam opini yang bertajuk
agama dalam Batas Iman Saja (Persembahan untuk Nurcholis Madjid, yang selalu
Membela Iman di atas Agama dan Rasionalitas). Mengusung pandapat William
James--seorang yang dikatakan Luthfi tak terlalu peduli dengan konsep-konsep
keagamaan yang dikembangkan dalam wacana filsafat dan teologi seperti Tuhan,
nabi, kitab suci, wahyu, dan lainnya Luthfi menjelaskan ideisme (fideism),
berasal dari kata fides yang berarti iman. Seorang fideis, katanya, tak terlalu
peduli apakah imannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional karena
baginya akal sama sekali tak relevan ketika seseorang berbicara tentang iman.
Lebih lanjut
Luthfi menuliskan bahwa kaum fideis menganggap independensi iman sebagai
sesuatu yang penting, bukan hanya untuk membebaskannya dari kungkungan
rasionalitas, tapi juga untuk membebaskannya dari ikatan-ikatan keagamaan
formal. Bagi pemeluk fideis (yang konsisten maupun separuh-separuh), pengalaman
spiritualitas melampaui identitas agama dan melampaui doktrin-doktrin yang
diajarkan institusi agama formal. Kedekatan dengan Tuhan atau perjumpaan dengan
sesuatu yang agung tidak mesti harus lewat cara-cara yang digariskan agama
tertentu. Tidak sampai di situ Luthfi seakan ingin menyeret kaum Muslim agar
menjadi pengikut fideisme memberikan contoh bahwa seorang fideis Muslim,
misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia
bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan
dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir
sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat
dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak
terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa
menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang
tanpa batas. Sedemikian jauhnya pandangan dan kayakinan Luthfi Assyaukanie
dalam menginfiltrasikan pandangannya notabene kepada kaum Muslimin engan
merasuki keyakinan beragama umat yang murni. Jelas ini merupakan suatu ekstasis
(siklus diluar kontrol yang terus-menerus sehingga menghilangkan semua esensi hampa
dan tidak bermakna) dan metastasis. Menyitir pandangan Baudrillard, inilah
politik sebagai budaya, di mana jika pandangan Luthfi ini dipolitikkan
(political) maka saat pandangan ini diproduksi dan merebak dia akan menginfiltrasi
seluruh struktur dan merasuki lain-lainnya. Inilah fenomena ekstrim (hal-hal
yang melampaui batas). Inilah paradoks logika yang menempatkan ide yang sangat
disadari dan berlebih-lebihan. Atau mungkin juga inilah yang disebut sebagai
krisis pemikiran (azmah fikriyah).
Pandangan
Luthfi yang mengusung keyakinan filsafat William James ini bertolak belakang
dengan pandangan Iqbal. Iqbal memberikan penjelasan tentang bagaimana secara
filsafat kita dapat membenarkan konsepsi Islam tentang Tuhan. Menurutnya,
hasrat keagamaan lebih tinggi menjulang daripada hasrat filsafat. Agama bukan
hanya sekedar konsepsi; agama berusaha mendapatkan pengetahuan yang lebih lazim
tentang dan berhubungan dengan objek yang ditujunya. Menurut Iqbal cara
mencapai hubungan ini adalah dengan beribadah atau shalat yang berakhir dengan
pencerahan ruhaniah. Shalat dalam Islam adalah suatu ego untuk melepaskan diri
dari mekanisme menuju kemerdekaan. Shalat ditentukan waktunya dalam setiap
harinya, yang menurut Al-Quran untuk memulihkan possession (pemilikan diri
sendiri) kepada ego dengan mendekatkannya kepada sumber pokok kehidupan dan
kemerdekaan, adalah dimaksudkan untuk menyelamatkan ego dari akibat tidur dan
kerja yang rutin.
Iqbal sendiri
mengutip pandangan William James (psikolog Amerika) bahwa meskipun ilmu akan
berbuat sebaliknya, tampaknya manusia akan terus beribadat sampai akhir zaman,
kecuali kalau kodrat mentalnya berubah dengan cara yang tak kita harapkan.
Iqbal senantiasa berusaha menuliskan tentang Islam dengan mengetengahkan
pandangan dan interpretasi yang inklusif (terbuka) dengan penerimaan terhadap
Islam yang inklusif (terbuka) pula, bukan sebaliknya terhadap
penentang-penentang Islam cenderung inklusif (terbuka) tetapi terhadap
pandangan dan nilai-nilai Islam itu sendiri ekslusif (tertutup). Atau terhadap
sesama muslim menyerang dengan pemikiran (paradoks logika) sementara terhadap
penghujat Islam bersahabat dan tebuka atas nama toleransi tanpa batasan. Iqbal
menuliskan Islam dengan kepekaan dan kepeduliannya terhadap dunia Islam tanpa
harus mencelupkan dirinya ke dalam warna Barat di mana dia banyak belajar
menuntut ilmu. Ilmunya diabdikannya untuk kepentingan Islam itu sendiri. Iqbal seakan menasehati dirinya sendiri dalam
bait-bait syairnya:
Apa
saja yang kau lakukan jadikan tujuanmu
Agar setiap saat kau dekat dengan-Nya. Maka: siapapun yang menghunus pedang tidak demi Tuhan
Pedang itu akan menusuk ke dadanya sendiri
(Muhammad Iqbal: Cita-cita Islam).
Agar setiap saat kau dekat dengan-Nya. Maka: siapapun yang menghunus pedang tidak demi Tuhan
Pedang itu akan menusuk ke dadanya sendiri
(Muhammad Iqbal: Cita-cita Islam).
Wahai
kau pencari ilmu
Kusampaikan bagimu pesan Rumi: ??ika ilmu sebatas kulit, dia jadi ular
Jika ilmu meresap sampai ke hati, dia jadi sahabat.??
Jangan kau jual agama demi sepotong roti
Bagi kau yang tergila mencari barang murahan
Tak kau sadar kegelapan matamu
Carilah inti kehidupan dari mata pedang sendiri
Peliharalah kemurnian Islam
Tapi jangan kau cari nyala cinta dari ilmu yang lain
Jangan reguk fitrah hakiki dari piala sang kafir
Jangan salah ukur kau pada lagu orang lain
Wahai, yang mengemis seiris kerak dari meja orang lain
Apakah akan kau cari bagianmu di warung orang lain?
Kita yang menjaga benteng Islam
Akan jadi kafir sebab mengabaikan panggilan Islam
(Muhammad Iqbal: Pesan Bagi Kaum Muslim).
Kusampaikan bagimu pesan Rumi: ??ika ilmu sebatas kulit, dia jadi ular
Jika ilmu meresap sampai ke hati, dia jadi sahabat.??
Jangan kau jual agama demi sepotong roti
Bagi kau yang tergila mencari barang murahan
Tak kau sadar kegelapan matamu
Carilah inti kehidupan dari mata pedang sendiri
Peliharalah kemurnian Islam
Tapi jangan kau cari nyala cinta dari ilmu yang lain
Jangan reguk fitrah hakiki dari piala sang kafir
Jangan salah ukur kau pada lagu orang lain
Wahai, yang mengemis seiris kerak dari meja orang lain
Apakah akan kau cari bagianmu di warung orang lain?
Kita yang menjaga benteng Islam
Akan jadi kafir sebab mengabaikan panggilan Islam
(Muhammad Iqbal: Pesan Bagi Kaum Muslim).
Bait-bait syair
ini meneguhkan keperibadian tunggalnya terhadap Islam. Iqbal tak akan menjual
agamanya sebab dia memiliki martabat. Pesannya, peliharalah kemurnian Islam, adalah
wujud komitmennya juga atas dirinya. Sehingga jelas di sini seorang Iqbal
dengan sendirinya akan menolak pernyataan Sukidi pengusung liberalisme, mahasiswa teologi di
Harvard Divinity School, Harvard University yang menyebutkan Iqbal sebagai
salah seorang yang menyerukan Protestanisme Islam[6].
Sukidi dengan tulisannya berjudul Muhammadiyah Sebagai Islam Protestan Refleksi
Pemikiran Awal tampaknya mencoba menarik Iqbal ke dalam aras pemikirannya yang
menyerukan Protestanisme Islam. Berikut kutipan Sukidi atas komentar Iqbal:
Martin Luther, musuh despotisme dalam agama, dan Rousseau, musuh despotisme
dalam politik, harus selalu dihormati sebagai emansipator kemanusiaan Eropa
dari belenggu kepausan dan absolutisme, dan pemikiran keagamaan-politik harus
dipahami sebagai penolakan yang sebenarnya atas dogma Gereja teradap penistaan
manusia. Saya pribadi tidak melihat adanya pernyataan Iqbal yang menyatakan
bahwa dia menyerukan Protestanisme Islam. Pernyataan Iqbal di atas tidak
mencerminkan suatu pandangan apapun yang dapat dijadikan justifikasi bahwa
Iqbal mendukung Protestanisme Islam yang sedang diusung Sukidi menyambung lidah
Ali Shariti dan Hashem Aghajari di Indonesia ini. Tampaknya Sukidi berkeinginan
melakukan penyesatan opini dalam hal ini.
Oleh karena itu Protestanisme Islam yang diusung Sukidi, harus ditolak lebih-lebih dengan alasan: Martin Luther (1483-1586) adalah seorang penghujat Islam, seorang yang berpandangan bahwa setan adalah pengarang terakhir Al-Quran (The devil is the ultimate author of the Quran). Luther berpendapat bahwa setan adalah seorang pembohong dan pembunuh (a liar and murderer) dan Al-Quran mengajarkan kebohongan dan pembunuhan. Luther menyatakan: jadi ketika jiwa pembohong mengontrol Muhammad, dan setan telah membunuh jiwa-jiwa Muhammad dengan Al-Quran dan telah menghancurkan keimanan orang Kristen, setan harus terus mengambil pedang dan mulai membunuh badan-badan mereka.[7]
Oleh karena itu Protestanisme Islam yang diusung Sukidi, harus ditolak lebih-lebih dengan alasan: Martin Luther (1483-1586) adalah seorang penghujat Islam, seorang yang berpandangan bahwa setan adalah pengarang terakhir Al-Quran (The devil is the ultimate author of the Quran). Luther berpendapat bahwa setan adalah seorang pembohong dan pembunuh (a liar and murderer) dan Al-Quran mengajarkan kebohongan dan pembunuhan. Luther menyatakan: jadi ketika jiwa pembohong mengontrol Muhammad, dan setan telah membunuh jiwa-jiwa Muhammad dengan Al-Quran dan telah menghancurkan keimanan orang Kristen, setan harus terus mengambil pedang dan mulai membunuh badan-badan mereka.[7]
Rasanya nurani
sejati seorang Muslim akan lebih cenderung menolak ide Sukidi yang
mempropagandakan Protestanisme Islam, maupun Luthfi Assyaukanie yang
mempropagandakan paham fideis. Kapan dan di mana pun mereka diperbolehkan
melakukan telaah secara bebas (dengan semangat filsafat). Namun lebih penting
lagi bila mereka mampu menawarkan pemikiran filsafat Islam dari khasanah Islam
yang terpendam. Telaah bebas seperti
yang dilakukan Sukidi sangat ganjil dan aneh, sebab tidak selayaknya seorang
pemuda Islam mengagung-agungkan penghujat Islam. Begitu pun ajakan Luthfi
Assyaukanie yang mengajak kepada fideis. Apakah tidak ada lagi khasanah
pemikiran yang layak digali dari sumber mata air keilmuan Islam sebagai
alternatif pencarian dan pemikirannya? Akan lebih bijaksana kalau mereka berdua
mampu menumpahkan tinta pemikirannya pada kanvas putih dan menuliskan Islam
yang murni (tanpa campuran), ketimbang menjajakan pemikirannya tentang
Protestanisme Islam atau tentang fideis. Seperti kata Iqbal: Carilah inti
kehidupan dari mata pedang sendiri dan peliharalah kemurnian Islam.
Bagi Iqbal yang
terlarang dalam filsafat adalah tidak boleh bertentangan dengan pandangan yang
dimaksudkan Al-Quran. Tidak boleh meleset dalam melihat daya cipta Islam yang
besar dan bermanfaat serta tidak membantu pertumbuhan filsafat hidup yang
melemahkan, yang mengaburkan pandangan manusia tentang dirinya, tentang Tuhannya,
dan tentang dunianya. Selayaknyalah kita berupaya untuk menuliskan tentang
kemurnian Islam dan bukannya mereguk fitrah hakiki dari piala sang kafir. Kita
yang menjaga benteng Islam. Akan jadi kafir sebab mengabaikan
panggilan Islam.
Footnoote:
Footnoote:
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I. hlm. 190
[2] Ibid., hlm. 191
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Lihat W.C. Smith, Modern Islam in India,
Lahore, Ashraf, 1963, hlm. 111
[6] (Media
Inovasi, Edisi Khusus Muktamar Muhammadiyah 2005: 15).
[7] Armas, A, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis,
Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm.
29-33