Popular Post

Posted by : Unknown Kamis, 09 April 2015

Hukum humaniter internasional merupakan penyebutan baru bagi hukum perang. Hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan cara melakukan perang itu sendiri (Kusumaatmadja dalam Wagiman 2005, 5). Perkembangan hukum humaniter internasional sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Penetapan instrumen internasional dalam bidang HAM telah memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati HAM, baik dalam situasi damai maupun perang.
Pada awalnya kemunculan hukum humaniter internasional ini tidak lepas dari seorang pemuda Swiss, Henri Dunant, yang memiliki pemikiran tentang langkah internasional untuk mengurangi penderitaan orang yang terluka dalam perang (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 2). Dunant menulis buku berjudul Un Souvenir de Solferino yang memberikan saran mengenai terbentuknya perkumpulan nasional untuk merawat korban perang tanpa diskriminatif. Dunant juga menyarankan agar negara-negara membuat perjanjian yang mengakui kegiatan organisasi dan menjamin perlakuan baik terhadap korban perang. Dunant membentuk komite internasional yang sekarang dikenal sebagai Komite Palang Merah Internasional. Kemudian ide Dunant tersebut diperluas, mendorong beberapa negara untuk mendirikan perkumpulan nasional dan menyelenggarakan konferensi diplomatik terkait korban perang.
Hukum humaniter internasional yang saat ini diberlakukan di dunia didasari oleh dua konvensi utama, yaitu Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa. Konvensi Den Haag 1907 mengatur mengenai cara memulai perang atau permusuhan. Perang harus disertai pernyataan yang mendasari alasan berperang. Keputusan diambil untuk membuat langkah awal dan ditetapkanlah Konvensi Jenewa yang baru, mencakup penghormatan atas orang yang sakit dan terluka dalam pertempuran darat, anggota militer yang terluka, sakit dan terdampar, serta tawanan perang, dan korban dari penduduk sipil (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 3). Berdasarkan konvensi tersebut, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Orang-orang yang dilindungi dalam hal ini merujuk pada orang-orang yang berpartisipasi dalam perang atau yang menjadi korban perang. Konvensi Jenewa tetap berlaku, namun telah mengalami penegasan kembali dan menetapkan dua protokol tambahan. Protokol I mengatur tentang perlindungan bagi korban pertikaian internasional. Protokol II terkait korban akibat pertikaian bersenjata dalam negeri, seperti pemberontakan. Kedua protokol tersebut berisi ketentuan-ketentuan spesifik mengenai peraturan di dalamnya.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan atau distinction principle. Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil). Selain itu, Wagiman (2005) menuliskan ada lima asas utama dalam hukum humaniter internasional, yaitu 1) asas kepentingan militer dimana pihak yang bersengketa dibenarkan melakukan kekerasan untuk menundukkan lawan; 2) asas perikemanusiaan dimana para pihak yang bersengketa tidak boleh menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka atau penderitaan berlebihan; 3) asas kesatriaan yang menyebutkan bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan sehingga berbagai tipuan dilarang; 4) asas pembedaan, artinya membedakan penduduk para pihak yang berperang ke dalam dua golongan, yaitu mana yang boleh dijadikan sasaran dan tidak; 5) rule of engagement dimana komandan angkatan bersenjata harus mengetahui kapan penggunaan kekerasan diperbolehkan atau tidak.
Namun, meskipun Konvensi Jenewa 1949 telah diadopsi dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata tidak banyak berkurang. Banyak sekali terjadi pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Menurut pandangan umum, pelanggaran tersebut bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan dalam hukum internasional, melainkan lebih disebabkan oleh ketidakpatuhan negara-negara (Henckaerts 2005, 2). Selain itu, sarana yang tersedia untuk menegakkan hukum juga kurang memadai dan tidak adanya ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu. Henckaerts (2005) menyebutkan ada dua kendala serius yang menghambat penerapan hukum humaniter internasional. Pertama, hukum ini hanya berlaku bagi yang meratifikasinya sehingga tidak dapat mengikat pihak yang belum meratifikasi. Kedua, konflik bersenjata yang terjadi selama ini sifatnya non-internasional dan belum diatur secara terperinci dalam hukum humaniter internasional.
            Penegakkan hukum humaniter internasional juga tidak lepas dari peran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 1960an, PBB telah memperluas keterlibatannya dalam pembentukan hukum humaniter internasional. PBB mengadakan konferensi internasional tentang HAM di Teheran pada tahun 1968 yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan harus dikedepankan dalam masa pertikaian bersenjata (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 5). Bersama dengan Palang Merah Internasional, PBB mengajak seluruh anggotanya untuk memberi perhatian pada aturan hukum humaniter internasional yang berlaku. PBB juga menetapkan Resolusi 2444 dimana Majelis Umum menyatakan tidak dapat menerima gagasan untuk memerangi seluruh penduduk dengan tujuan memaksa lawan menyerah (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 5). Resolusi tersebut mengakui adanya interaksi antara peraturan untuk melindungi korban perang, menegakkan aturan perang, dan melindungi HAM dalam pertikaian bersenjata.
            Dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter internasional telah berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II. Namun pada kenyataannya, pertikaian internasional tidak banyak berkurang meskipun hukum telah ditegakkan. Hal tersebut dikarenakan hukum humaniter yang masih kurang jelas dan terperinci dalam aturan-aturannya. Oleh karena itu, konvesi terkait hukum humaniter internasional terus memerlukan penegasan kembali.



Referensi:
Henckaerts, Jean Marie. 2005. “International Review of the Red Cross” dalam Study on Customary International Humanitarian Law, Vol. 87, No 857.
Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia. Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia [online] dalam http://pusham.uii.ac.id/files.php?type=data&id=44&lang=id [diakses pada 18 Desember 2014]
Wagiman, Wahyu. 2005. “Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia,” Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005.

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Emperor Casino Review
    Empire Casino Online is an authentic online casino offering over 제왕카지노 500 online casino games. We are 바카라 사이트 a casino online that offers over 2000 games, 🎲 Games: 550+🎲 Games: 550+ Rating: 4 · ‎Review by Shane John หาเงินออนไลน์

    BalasHapus

- Copyright © Welcome to My World - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -