Popular Post

Archive for April 2015

MUHAMMAD IQBAL DAN PEMIKIRANNYA

By : Unknown
a.      Latar Belakang Biografinya :
Muhammad Iqbal berasal daari keluarga golongan menengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada tahun 1876. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjaaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan, menorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggeris. Di tahun 1905 ia pergi ke negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sinilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawwuf. Tesis doktoral yang dimajukannya berjudul : The Development of Metaphhysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[1]
Pada tahun 1908 ia berada kembali di Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen falsafat. Bukunya The Reconstruction of Relegious Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Di dalam Perundingan Meja Bundar di London ia turut dua kali mengambil bahagian. Ia juga menghadiri Konferensi Islam yang diadakan di Yerussalem. Di tahun 1933 ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia enam puluh dua tahun ia meninggal di tahun 1938.
b.      Pokok-pokok Pemikirannya :
Berbeda dengan pembaharu-pembaharu lain, Muhamamd Iqbal adalah penyair dan filosof. Tetapi pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan ummat Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam.[2]
Sama dengan pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terkahir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah akan membawa kepada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan ppolitik. Untuk memelihara kesatuan itu kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan diam.
Sebab lain terletak pada pengaruh zuhd yang terdapat dalam ajaran tasawwuf. Menurut tasawwuf yang mementingkan zuhd, perhatian harus dipusatkan kepada Tuhan dan apa yang berada di sebalik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan ummat kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.[3]
Sebab  terutama ialah hancurnya Baghdad, sebagai pusat kemajuan pemikiran ummat Islamn di pertengahan abad ketiga belas. Untuk mengelakkan disintegrasi yang lebih mendalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan dan dipertahankan keseragaman hidup sosial dari seluruh ummat. Untuk itu mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka tutup. Hukum dalam Islam sebenarnya, demikian Iqbal, tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Islam pada hakikatnya mengajarkan dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Al Quran senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kamajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Ini mengandung arti dinamisme.[4]
Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perobahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perobahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai keduddukan penting dalam pembaharuan dalam Islam.
Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syiar-syiarnya ia mendorong ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada ummat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.[5]
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa Baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Kapitalisme dan impearalisme Barat tak dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil ummat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme Baat ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme di Barat dan di Rusia, antara Islam dan sosialisme ia lihat ada persamaan.
Nasionalisme ia tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat  bibit  materialisme dan ateisme dan keduanya merupakan ancaman besar bagi perikemanusiaan. Nasionalisme India yang mencakup Muslim dan Hindu adalah ide yang bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan. Ia curiga bahwa di belakang nasionalisme India terletak konsep Hinduisme dalam bentuk baru.
Ide Iqbal bahwa ummat Islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu memerlukan satu negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendiriannya tentang persaudaraan dan persatuan ummat Islam. Ia bukanlah seorang nasionalisme dalam arti yang sempit. Ia sebenarnya adalah seorang pan Islam. Islam demikian ia menjelaskan, bukanlah nasionalisme dan bukan pula imperalisme, tetapi Liga Bangsa-bangsa. Islam dapat menerima batas-batas yang memisah satu daerah dari yang lain dan dapat menerima perbedaan bangsa hanya untuk memudahkan soal hubungan antara sesama mereka. Batas dan perbedaan bangsa itu tidak boleh mempersempit ufuk pandangan sosial ummat Islam. Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas Republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk adalah salah satu Republik itu.
Pengaruh Iqbal dalam pembaharuan India ialah menimbulkan faham dinamisme di kalangan ummat Islam dan menunjukan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar sebagai ummat minoritas di anak benua itu mereka dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan dari luar.
Muhammad Iqbal filsuf dan penyair Islam yang banyak menghasilkan karya dalam bidang puisi, filsafat, hukum, pemikiran Islam dan kebudayaan. Iqbal menulis dalam rangka menjawab pertanyaan; mungkinkah cara filsafat rasional yang murni untuk agama. Pemikiran Iqbal ini dilatarbelakangi oleh kesadarannya bahwa sudah selama 500 tahun terakhir ini pemikiran dalam Islam praktis terhenti setelah masa-masa kejayaannya berlalu. Dan di saat vakum ini menyebabkan tertariknya dunia Islam ke arah Barat. Sesuatu yang menurut Iqbal tidak dapat disalahkan, karena memang kebudayaan Barat (Eropa) pada hakekatnya dari segi intelektualnya merupakan perkembangan lanjutan dari beberapa fase yang sangat penting dari kebudayaan Islam. Menurutnya, yang perlu kita khawatirkan hanyalah bahwa kulit luar kebudayaan Eropa yang menyilaukan itu dapat juga menjerat langkah kita dan boleh jadi gagal dalam mencapai intisari yang sebenar-benarnya dari kebudayaan itu.Dalam pandangan Iqbal, berabad lamanya sewaktu umat Islam dalam berada dalam kepulasan intelektual, Eropa telah benar-benar berpikir ke arah masalah-masalah besar yang sejak dahulu telah menarik perhatian filsuf-filsuf dan sarjana-sarjana Islam. Eropa telah berhasil memunculkan pandangan-pandangan baru dan persoalan-persoalan lama diolah di bawah cahaya pengalaman baru, dan persoalan-persoalan baru pun bermekaran di mana-mana.
Ilmu pengatahuan maju dengan pesatnya dan ini mempengaruhi angkatan muda Islam di Asia dan Afrika yang menghendaki suatu pengupasan baru tentang kepercayaan mereka.  Oleh karena itu, Iqbal menegaskan perlunya menyelidiki kembali kebangkitan Islam serta menganalisis ulang apa sesungguhnya yang dipikirkan Eropa dan sampai di mana kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapainya itu bisa membantu kita dalam mengadakan revisi, jika perlu melakukan rekonstruksi atas pikiran agama dalam Islam. Tentu saja revisi yang dimaksudkan di sini tidak sama artinya dengan melakukan penafsiran tentang Islam yang keluar dari bingkai kaidah berpikir yang tersurat dan tersirat di dalam kandungan Al-Quran dan Al-Hadits sehingga bertindak sekehendak hati sekedar memenuhi hasrat hawa nafsu. Revisi dimaksudkan lebih kepada upaya memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam menafsirkan dan mengaplikasikan ajaran agama ke dalam sendi-sendi kehidupan, mereposisi ulang kepada jalur yang sesungguhnya dan merekonstruksikan kembali pemikiran agama yang mencerahkan bukan menyesatkan. Penjelasan ini hendak menegaskan kepada segenap kaum muslimin agar tidak menciptakan rekam jejak yang keluar jalur pemikiran Islam, tetapi sebaliknaya selalu mengarahkan pandangan dan pedomannya kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan penguasaan yang paripurna dan bukan dengan penggalan-penggalan interpretasi yang menyesatkan untuk selanjutnya menularkan ide busuk seperti kanker yang menggerogoti kesehatan tubuh. Ide yang ditularkan semestinya haruslah ide yang sehat dan mampu membangkitkn kesadaran dalam menjalankan kemurnian beragama.
Ide haruslah maslahat dalam kemanfaatannya, sebab ide dalam pandangan Iqbal adalah unsur yang vital dalam agama. Sedangkan agama??alam pandangan Prof. Whitehead seperti dikutip Iqbal??dalah suatu kebenaran umum yang membawa akibat merubah watak manusia bila benar-benar dipegang dan dipahami sepenuh-penuhnya. Karena perubahan watak dan tuntutan hidup manusia adalah tujuan pokok bagi agama, maka kebenaran umum yang dikandungnya tidak seharusnya tinggal terbengkalai. Artinya kita boleh saja berpikir dengan semangat filsafat, yang menurut Iqbal adalah semangat penelaahan secara bebas. Segala macam ketentuan diragukannya. Rekaan-rekaan pikiran manusia yang tidak kritis diikuti sampai ke tempat-tempat tersembunyi, tetapi haruslah berkesudahan dengan menolak atau menerima dengan hati terbuka bahwa akal mempunyai kelemahan untuk sampai kepada kebenaran tertinggi.
Pada tataran ini hidup kita membutuhkan satu kata iman. Iman adalah intisari agama yang dikatakan Iqbal seperti burung, melihat jalannya yang tak berjejak dan tak dituntun oleh intelek. Iman adalah seperti isi pikir (cognitive content) yang bergejolak dengan berbagai pandangan yang hadir dan saling bertentangan. Jika iman adalah perumpamaan isi pikir, maka tergantung kepada kita mau kita arahkan kemanakah isi pikir kita. Mengikuti jalan yang lurus ataukah jalan menyimpang yang selalu bertentangan dengan pedoman Al-Quran dan Al-Hadits. Prof. Withehead seperti dikutip Iqbal-- mengatakan bahwa usia iman itu memang setua usia rasionalisme. Tetapi untuk memasukkan iman ke dalam rasio tidaklah berarti mengakui keunggulan filsafat atas agama. Jadi meskipun filsafat mempunyai kuasa menilai agama, tetapi yang dinilainya itu sudah sedemikian rupa sehingga agama tidak akan dapat takluk begitu saja pada kekuasaan filsafat, kecuali atas syarat-syaratnya sendiri. Sebab agama bukanlah masalah sebagian kehidupan manusia, bukan pula sekedar pikiran, bukan hanya perasaan, bukan sekedar amalan saja; tetapi agama adalah pernyataan manusia selengkapnya dan seutuh-utuhnya.
Oleh karena itulah Islam menurut Iqbal-- menolak pandangan filsafat Yunani yang telah berupaya mengaburkan pandangan ahli-ahli pikir Islam terhadap Al-Quran. Meskipun, sesungguhnya Islam tidak menolak filsafat, dalam pengertian selama filsafat tidak mengecilkan arti agama hanya sebatas konsepsi logika yang berakhir pada sikap negatif semata. Jadi sesungguhnya agama telah menuntun jalan iman kita kepada jalan yang sebenarnya. Maka pemahaman kita terhadap agama secara paripurna atau komprehensif akan memudahkan kita dalam memahami berbagai persoalan keimanan yang kita pilih dan kita tempuh. Sehingga dengan demikian persoalan iman dalam hal ini tidaklah dapat kita lepaskan (bebaskan) dari ikatan-ikatan keagamaan formal. Tesis ini menolak sama sekali pandangan saudara Luthfi Assyaukanie yang dimuat pada kolom Bentara Kompas (3 September 2005), yang mengatakan bahwa independensi iman adalah sesuatu yang penting sehingga membebaskannya dari ikatan-ikatan keagaamaan formal. Bahwa kedekatan dengan Tuhan atau perjumpaan dengan sesuatu yang agung tidak mesti harus lewat cara-cara yang digariskan agama tertentu. Luthfi yang adalah pengusung paham liberalisme ini menuliskan tentang iman kaum fideisme dalam opini yang bertajuk agama dalam Batas Iman Saja (Persembahan untuk Nurcholis Madjid, yang selalu Membela Iman di atas Agama dan Rasionalitas). Mengusung pandapat William James--seorang yang dikatakan Luthfi tak terlalu peduli dengan konsep-konsep keagamaan yang dikembangkan dalam wacana filsafat dan teologi seperti Tuhan, nabi, kitab suci, wahyu, dan lainnya Luthfi menjelaskan ideisme (fideism), berasal dari kata fides yang berarti iman. Seorang fideis, katanya, tak terlalu peduli apakah imannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional karena baginya akal sama sekali tak relevan ketika seseorang berbicara tentang iman.
Lebih lanjut Luthfi menuliskan bahwa kaum fideis menganggap independensi iman sebagai sesuatu yang penting, bukan hanya untuk membebaskannya dari kungkungan rasionalitas, tapi juga untuk membebaskannya dari ikatan-ikatan keagamaan formal. Bagi pemeluk fideis (yang konsisten maupun separuh-separuh), pengalaman spiritualitas melampaui identitas agama dan melampaui doktrin-doktrin yang diajarkan institusi agama formal. Kedekatan dengan Tuhan atau perjumpaan dengan sesuatu yang agung tidak mesti harus lewat cara-cara yang digariskan agama tertentu. Tidak sampai di situ Luthfi seakan ingin menyeret kaum Muslim agar menjadi pengikut fideisme memberikan contoh bahwa seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas. Sedemikian jauhnya pandangan dan kayakinan Luthfi Assyaukanie dalam menginfiltrasikan pandangannya notabene kepada kaum Muslimin engan merasuki keyakinan beragama umat yang murni. Jelas ini merupakan suatu ekstasis (siklus diluar kontrol yang terus-menerus sehingga menghilangkan semua esensi hampa dan tidak bermakna) dan metastasis. Menyitir pandangan Baudrillard, inilah politik sebagai budaya, di mana jika pandangan Luthfi ini dipolitikkan (political) maka saat pandangan ini diproduksi dan merebak dia akan menginfiltrasi seluruh struktur dan merasuki lain-lainnya. Inilah fenomena ekstrim (hal-hal yang melampaui batas). Inilah paradoks logika yang menempatkan ide yang sangat disadari dan berlebih-lebihan. Atau mungkin juga inilah yang disebut sebagai krisis pemikiran (azmah fikriyah).
Pandangan Luthfi yang mengusung keyakinan filsafat William James ini bertolak belakang dengan pandangan Iqbal. Iqbal memberikan penjelasan tentang bagaimana secara filsafat kita dapat membenarkan konsepsi Islam tentang Tuhan. Menurutnya, hasrat keagamaan lebih tinggi menjulang daripada hasrat filsafat. Agama bukan hanya sekedar konsepsi; agama berusaha mendapatkan pengetahuan yang lebih lazim tentang dan berhubungan dengan objek yang ditujunya. Menurut Iqbal cara mencapai hubungan ini adalah dengan beribadah atau shalat yang berakhir dengan pencerahan ruhaniah. Shalat dalam Islam adalah suatu ego untuk melepaskan diri dari mekanisme menuju kemerdekaan. Shalat ditentukan waktunya dalam setiap harinya, yang menurut Al-Quran untuk memulihkan possession (pemilikan diri sendiri) kepada ego dengan mendekatkannya kepada sumber pokok kehidupan dan kemerdekaan, adalah dimaksudkan untuk menyelamatkan ego dari akibat tidur dan kerja yang rutin.
Iqbal sendiri mengutip pandangan William James (psikolog Amerika) bahwa meskipun ilmu akan berbuat sebaliknya, tampaknya manusia akan terus beribadat sampai akhir zaman, kecuali kalau kodrat mentalnya berubah dengan cara yang tak kita harapkan. Iqbal senantiasa berusaha menuliskan tentang Islam dengan mengetengahkan pandangan dan interpretasi yang inklusif (terbuka) dengan penerimaan terhadap Islam yang inklusif (terbuka) pula, bukan sebaliknya terhadap penentang-penentang Islam cenderung inklusif (terbuka) tetapi terhadap pandangan dan nilai-nilai Islam itu sendiri ekslusif (tertutup). Atau terhadap sesama muslim menyerang dengan pemikiran (paradoks logika) sementara terhadap penghujat Islam bersahabat dan tebuka atas nama toleransi tanpa batasan. Iqbal menuliskan Islam dengan kepekaan dan kepeduliannya terhadap dunia Islam tanpa harus mencelupkan dirinya ke dalam warna Barat di mana dia banyak belajar menuntut ilmu. Ilmunya diabdikannya untuk kepentingan Islam itu sendiri.  Iqbal seakan menasehati dirinya sendiri dalam bait-bait syairnya:
Apa saja yang kau lakukan jadikan tujuanmu
Agar setiap saat kau dekat dengan-Nya. Maka: siapapun yang menghunus pedang tidak demi Tuhan
Pedang itu akan menusuk ke dadanya sendiri

(Muhammad Iqbal: Cita-cita Islam).
Wahai kau pencari ilmu
Kusampaikan bagimu pesan Rumi: ??ika ilmu sebatas kulit, dia jadi ular
Jika ilmu meresap sampai ke hati, dia jadi sahabat.??
Jangan kau jual agama demi sepotong roti
Bagi kau yang tergila mencari barang murahan
Tak kau sadar kegelapan matamu
Carilah inti kehidupan dari mata pedang sendiri
Peliharalah kemurnian Islam
Tapi jangan kau cari nyala cinta dari ilmu yang lain
Jangan reguk fitrah hakiki dari piala sang kafir
Jangan salah ukur kau pada lagu orang lain
Wahai, yang mengemis seiris kerak dari meja orang lain
Apakah akan kau cari bagianmu di warung orang lain?
Kita yang menjaga benteng Islam
Akan jadi kafir sebab mengabaikan panggilan Islam

(Muhammad Iqbal: Pesan Bagi Kaum Muslim).

Bait-bait syair ini meneguhkan keperibadian tunggalnya terhadap Islam. Iqbal tak akan menjual agamanya sebab dia memiliki martabat. Pesannya, peliharalah kemurnian Islam, adalah wujud komitmennya juga atas dirinya. Sehingga jelas di sini seorang Iqbal dengan sendirinya akan menolak pernyataan Sukidi  pengusung liberalisme, mahasiswa teologi di Harvard Divinity School, Harvard University yang menyebutkan Iqbal sebagai salah seorang yang menyerukan Protestanisme Islam[6]. Sukidi dengan tulisannya berjudul Muhammadiyah Sebagai Islam Protestan Refleksi Pemikiran Awal tampaknya mencoba menarik Iqbal ke dalam aras pemikirannya yang menyerukan Protestanisme Islam. Berikut kutipan Sukidi atas komentar Iqbal: Martin Luther, musuh despotisme dalam agama, dan Rousseau, musuh despotisme dalam politik, harus selalu dihormati sebagai emansipator kemanusiaan Eropa dari belenggu kepausan dan absolutisme, dan pemikiran keagamaan-politik harus dipahami sebagai penolakan yang sebenarnya atas dogma Gereja teradap penistaan manusia. Saya pribadi tidak melihat adanya pernyataan Iqbal yang menyatakan bahwa dia menyerukan Protestanisme Islam. Pernyataan Iqbal di atas tidak mencerminkan suatu pandangan apapun yang dapat dijadikan justifikasi bahwa Iqbal mendukung Protestanisme Islam yang sedang diusung Sukidi menyambung lidah Ali Shariti dan Hashem Aghajari di Indonesia ini. Tampaknya Sukidi berkeinginan melakukan penyesatan opini dalam hal ini.
Oleh karena itu Protestanisme Islam yang diusung Sukidi, harus ditolak lebih-lebih dengan alasan: Martin Luther (1483-1586) adalah seorang penghujat Islam, seorang yang berpandangan bahwa setan adalah pengarang terakhir Al-Quran (The devil is the ultimate author of the Quran). Luther berpendapat bahwa setan adalah seorang pembohong dan pembunuh (a liar and murderer) dan Al-Quran mengajarkan kebohongan dan pembunuhan. Luther menyatakan: jadi ketika jiwa pembohong mengontrol Muhammad, dan setan telah membunuh jiwa-jiwa Muhammad dengan Al-Quran dan telah menghancurkan keimanan orang Kristen, setan harus terus mengambil pedang dan mulai membunuh badan-badan mereka.[7]
Rasanya nurani sejati seorang Muslim akan lebih cenderung menolak ide Sukidi yang mempropagandakan Protestanisme Islam, maupun Luthfi Assyaukanie yang mempropagandakan paham fideis. Kapan dan di mana pun mereka diperbolehkan melakukan telaah secara bebas (dengan semangat filsafat). Namun lebih penting lagi bila mereka mampu menawarkan pemikiran filsafat Islam dari khasanah Islam yang terpendam.  Telaah bebas seperti yang dilakukan Sukidi sangat ganjil dan aneh, sebab tidak selayaknya seorang pemuda Islam mengagung-agungkan penghujat Islam. Begitu pun ajakan Luthfi Assyaukanie yang mengajak kepada fideis. Apakah tidak ada lagi khasanah pemikiran yang layak digali dari sumber mata air keilmuan Islam sebagai alternatif pencarian dan pemikirannya? Akan lebih bijaksana kalau mereka berdua mampu menumpahkan tinta pemikirannya pada kanvas putih dan menuliskan Islam yang murni (tanpa campuran), ketimbang menjajakan pemikirannya tentang Protestanisme Islam atau tentang fideis. Seperti kata Iqbal: Carilah inti kehidupan dari mata pedang sendiri dan peliharalah kemurnian Islam.
Bagi Iqbal yang terlarang dalam filsafat adalah tidak boleh bertentangan dengan pandangan yang dimaksudkan Al-Quran. Tidak boleh meleset dalam melihat daya cipta Islam yang besar dan bermanfaat serta tidak membantu pertumbuhan filsafat hidup yang melemahkan, yang mengaburkan pandangan manusia tentang dirinya, tentang Tuhannya, dan tentang dunianya. Selayaknyalah kita berupaya untuk menuliskan tentang kemurnian Islam dan bukannya mereguk fitrah hakiki dari piala sang kafir. Kita yang menjaga benteng Islam. Akan jadi kafir sebab mengabaikan panggilan Islam. 

Footnoote:

[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I. hlm. 190
[2] Ibid., hlm. 191
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Lihat W.C. Smith, Modern Islam in India, Lahore, Ashraf, 1963, hlm. 111
[6] (Media Inovasi, Edisi Khusus Muktamar Muhammadiyah  2005: 15).
[7] Armas, A, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm.  29-33

TRANSFORMASI AMERIKA LATIN MODERN

By : Unknown

Resume ini dibuat berdasarkan buku Thomas E. Skidmore dan Peter H. Smith, Modern Latin America Bab II the Transformation of Modern Latin America. Di dalam resume ini penulis akan bercerita tentang transformasi yang dialami oleh Negara – Negara Amerika Latin sejak pasca kemerdekaan hingga era 1990an.

A. FASE I : INISIASI PERTUMBUHAN EKSPOR – IMPOR 1880 – 1900Kemerdekaan yang telah didapatkan oleh negara – negara Amerika Latin ternyata tidak membuat negara – negara tersebut juga ”merdeka” dalam pembangunan ekonominya. Ini dapat dilihat dari ketergantungan Amerika Latin terhadap perdagangan dunia yng dikendalikan oleh pihak asing, khususnya dengan negara – negara Eropa seperti Spanyol dan Portugal. Apalagi perkembangan industrialisasi di Eropa menyebabkan ketergantungan terhadap produk makanan dan bahan mentah. Namun, amat disayangkan karena barang yang diimpor Amlat harganya tidak stabil dibandingkan dengan barang yang diekspor ke Eropa.
Inggris merupakan negara investor nomor satu di Amlat pada saat itu. Inggris menanamkan modalnya di beberapa negara besar seperti Argentina, Mexico, Peru, dan Brasil. Bisa dikatakan bahwa investasi di Amlat didominasi oleh Eropa (campur tangan oleh pihak asing).
Liberalisme Amlat juga merupakan produk impor dari Eropa (Prancis dan Inggris). Namun, Amlat tidak mengalami industrialisasi yang signifikan dibandingkan yang dialami Eropa karena perbedaan struktur sosialnya. Kebijakan ekonomi dan politik di Amlat dipegang oleh kelompok elit. Kelompok elit tersebut sangat memperhatikan inferioritas rasial pada masyarakat mereka. 
Seiring dengan kemajuan ekonomi ekspor di Amlat, para pemilik tanah dan properti diberikan kesempatan yang besar untuk membuat kesempatan yang sebesar-besarnya. Masuknya kelompok profesional baru yang memainkan peranan ekonomi tambahan telah mengubah sektor komersial. Kelompok ini juga berupaya untuk memajukan hubungan Amlat dengan pasar luar (internasional).
Perubahan ini pun mempengaruhi perubahan politik Amlat pada umumnya. Para pemilik tanah dan elit ekonomi mulai mencari jabatan politik karena mereka beranggapan bahwa dengan terciptanya politik yang stabil, maka akan banyak investor asing yang datang, ekonomi menguat dan rezim yang mereka ciptakan pun akan bertahan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa bentuk : Pemilik tanah dan elit ekonomi langsung mengambil alih pemerintahan, seperti yang terjadi di Argentina dan Chili. Mereka fokus terhadap eksklusivisme rezim dengan dukungan militer. Diktator, yang berasal dari kalangan militer mengeluarkan aturan yang hanya menguntungkan pemilik tanah. 
B. FASE II : EKSPANSI PERTUMBUHAN EKSPOR – IMPOR 1900 – 1930
Kesuksesan kebijakan – kebijakan orientasi ekspor ini sangat tampak terutama hingga awal abad ke-20. argentina berkembang dengan ekspor daging sapi dan gandum, Mexico dengan gula, hanequen, minyak dan hasil tambang, Chile dengan tembaga dan buah serta diikuti oleh beberapa negaara Amerika Latin lainya. Konsolidasi yang disebabkan oleh sistem ekonomi ekspor impor ini menyebabkan dua perubahan fundamental bagi Amlat. Pertama, disebabkan oleh timbulnya kelas sosial menengah yang terdiri dari saudagar, penjaga toko, para profesional maupun pengusaha kecil yang tidak menduduki kelas atas kepemilikan. Mereka semua merupakan orang – orang terdidik dan mencari pengakuan dari masyarakat mereka. Kedua, timbulnya kelas pekerja melalui serikat buruh. Para pekerja ini tentu saja memegang peran penting dalam perekonomian. Pada 1914-1927 terjadi gelombang mobilisasi buruh sebagai bentuk protes buruh dan tentu saja hal ini sangat anarkis dan direspon oleh elit dominan. Perubahan besar lainya terjadi pada era 1900 – 1930 ketika banyak buruh melakukan urbanisasi. Namun amat disayangkan, para elit Amlat tidak mengikutsertakan kelas buruh dalam politik dengan alasan faktor kewarganegaraan dan etnis. Di Argentina dan Brasil, para imigran tidak bisa mengikuti pemilu, kecuali setelah adanya naturalisasi, sedangkan di Meksiko, kelas pekerja tidak mampu mempengaruhi rezim Diaz.
Model pertumbuhan perekonomian ekspor impor ini menawarkan keuntungan bagi proses integrasi Amlat ke dalam sistem kapitalisme global. Adaptasi politik membuat masing – masing negara ini tetap bertahan dengan kekuasaan nasional yang dipegang oleh bangsa elit.
Ide – ide ekonomi non – liberal seperti tarif protektif dan kontrol terhadap investasi yang datang dari luar biasanya juga dihubungkan dengan ide – ide politik non liberal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena penyimpangan dari liberalisme bisa dikatakan sebagai suatu bentuk otoritarian. Liberalisme di Amlat cenderung diperlemah karena asumsi yang salah mengenai liberalisme. Mereka percaya denagn adanya reasionalitas dan membangun perusahaan sendiri tanpa adanya perlindungan maupun subsidi.
Elit – elit politik tadi pun merancang reformasi politik agar dapat mengakomodasi kepentingna buruh agar kaum menengah ke bawah ini tetap setia kepada rezim yang berkuasa. Salah satu dampak dari demokrasi ko-optasi ini dapat dilihat dari sistem pengkaderan.

C. FASE III : INDUSTRIALISASI SUBSTITUSI IMPOR 1930 – 1960an
The Great Depression menyebabkan bencana bagi perekonomian Amlat. Ketika perekonomian Amerika dan Eropa mengalami kejatuhan, Amlat pun terkena efek yang sangat buruk; ekspor menurun tajam. Hal ini tentu berakibat langsung terhadap perpolitikan Amlat dimana pada saat itu trjadi kudeta militer di beberapa negara Amlat seperti Argentina, Brasil, Chile, Peru, Guatemala, El Salvador dan Honduras.kelangsungan dari model perekonomian ekspor – impor, membantu kesalanhan ”pengambilan” peran yang dimainkan oleh aktor politik dan membuat masyarakat elbih siap menerima rezim militer.
Untuk keluar dari krisis,beberapa negara – negara Amlat mempererat hubungan dengan negara – negara industri. Pada 1933, Argentina menandatangani Roca Runciman Pact;perjanjian dagang. Langkah lain yang dilakukan adalah membangunindustri dengan tujuan mmengurangi ketergantungan terhadap produk impor dari Amerika dan Eropa serta membuka lapangan kerja bagi kelas pekerja agar tercipta suatu independensi dalam perekonomian. Negara – negara Amlat pun lebih memfokuskan pada peningkatan perekonomian dalam negerinya.
Pembangunan industri baru (yang lebih dikenal dengan ISI; import subtituing Industrialization)dengan penyerapan tenaga kerja menyebabkan bertambahnya kelas pekerja dan organisasi buruh sebagai suatu bentuk kekuatan sosial pun bertambah. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan ISI ini cenderung sukses di Argentina, Brazil dan Mexico karena menyelamatkan pertumbuhan ekonomi.Dampak sosial lainya adalah munculnya kaum borjuis, para pemilik modal kapitalis. 
Situasi politik dengan keadaan seperti ini sedikit memberi sedikit angin segar bagi partisipasi buruh di bawah demokrasi ko-optatif. Partai – partai buruh yang pro pada industrialisasi pun masuk dalam bursa pemilihan umum Chile. Bentuk lain dari dampak lain dari The Great Depression adalah terbentuknya koalisi – koalisi multikelas misalnya antara pengusaha dan pekerja seperti yang dilakukan oleh Juan Peron di Mexico pada 1940. Rezim populis memiliki dua karakteristik kunci, yaitu pemerintahanya yang semi otoriter dengan orang – orang yang memiliki kepentingan yang sama dan sangat bergantung pada kharisma yang dimiliki oleh pemimpin. 
D. FASE IV : STAGNASI PERTUMBUHAN SUBSTITUSI IMPOR 1960 – 1980an
Pada tahun 1960an terjadi krisis di Amlat yang berdampak pada keadaan politik dan ekonominya. Krisis ini disebabkan oleh sistem ISI yang berjalan tidak sempurna, terbatasnya konsumen barang – barang manufaktur keluaran produksi Amlat. Walaupun industri di Amlat telah memakai teknologi yang tinggi, hanya sedikit tenaga kerja yang terserap. Di bidang politik, di beberapa negara Amlat sepeerti Brasil, Argentina dan Brasil telah terjadi kudeta militer. Dalam keadaan ekonomi yang hectic ini,rezim militer pun mengambil kebijakan dengan menurunkan upah buruh untuk menstabilkan perekonomian.
Pemerintah otoriter – birokratis yang dipakai pada saat itu juga makin memperparah keadaan mayoritas negara – negara Amlat. Pemerintahan model ini cenderung memberikan jabatan pemerintahan pada orang yang suadh berpengalaman pada jabatan birokratis, mengalienasikan kelas pekerja secara politik dan ekonomi, pengurangan bahkan penghapusan kegiatan politik, dan mulai melakukan konsoliasi dengan lembaga moneter internasional. Revisi ini diartikan sebagai bentuk ketergantungan negara – negara Amlat terhadap sistem dunia global.
E. FASE V : KRISIS, JERATAN, HUTANG LUAR NEGERI, DAN DEMOKRASI (1980 – 1990an)
Pertumbuhan perekonomian pada dekade 1970an ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dimana pinjaman tersebut meningkat dari $27 juta menjadi $231 juta dengan bunga mencapai $18 juta. Pada Agustus 1982, Mexico mengumumkan bahwa ia tidak dapat membayar hutangnya. Selama dekade 1980an ini Amlat mengalami krisis ekonomi berkepanjangan sehingga untuk membayar utangnya Amlat harus menyisihkan 5% dari GDP nya untuk membayar hutangnya.
Akhirnya Amlat pun kembali pada sistem demokrasi karen sistem birokrasi – otoriter dinilai lemah. Industri lokal di negara – negara Amlat mengalami gangguan karena adanya MNC (multi national cooperations). Para aktor politik dari kalangan militer pun angkat tangan karena tidak mampu .enyelesaikan masalah serius ini. Jumlah pemilih dalam pemilu pun meningkat dan kader – kader baru yang berpendidikan dalam dunia perpolitikan pun meningkatkan.
Reformasi ekonomi pun dicanangkan pada awal 1990an yang ditandai dengan masuknya investor asing sehingga inflasi pada tahun 1989 dari 130% menjadi 14% pada tahun 1994 dan pertumbuhan ekonomi naik hingga level 3,5% dari 1,5%. Masalah – masalah dalam sektor ekonomi yang tersisa adalah investasi portofolio, kemiskinan dan ketidakmerataan.
Dalam politik, sistem yang digunakan adalah demokrasi elektoral yang tidak sempurna dengan hak veto di tangan militer.

Green Theory

By : Unknown
Tahun 1960 telah dijadikan penanda munculnya gerakan lingkungan hidup modern sebagai usaha perluasan dan usaha yang gigih dari gerakan sosial yang mempublikasikan dan mengkritik efek samping lingkungan dari ledakan ekonomi setelah Perang Dunia II. Masalah ekologi lintas batas pada tahun 1970 dan selanjutnya menjadi sub bidang perhatian baru dalam HI yakni berhubungan dengan kerjasama lingkungan hidup internasional. Ekonomi tumbuh dengan cepat, teknologi baru juga berkembang dan menyebar secara cepat, serta kenaikan populasi dalam periode ini menghasilkan peningkatan konsumsi energi dan sumber daya alam, sumber baru munculnya polusi dan produksi limbah, serta peningkatan erosi terhadap biodiversitas bumi. Indikator kerusakan lingkungan meningkat di beberapa negara pada akhir abad 20, secara global penilaian lingkungan hidup tetap buruk hingga abad 21. Untuk itu pada Maret 2005 dibentuklah United Nations Environment Program’s (UNEP) Millenium Ecosystem Assessment atau program lingkungan PBB yang menangani ekosistem pada abad milenium. Mereka menemukan bahwa 60% kegunaan ekosistem yang telah menunjang kehidupan telah terdegradasi atau digunakan secara tidak berkesinambungan.
Tidak seperti masalah ancaman militer yang disengaja, spesifik dan memerlukan respon segera, permasalahan lingkungan adalah tipe masalah yang tidak disengaja, menyebar, lintas batas, berlaku hingga jangka waktu yang sangat panjang, melibatkan berbagai aktor serta memerlukan negosiasi dan  kerjasama di antara pemilik kepentingan. Resiko kerusakan lingkungan hidup telah merangkak naik dengan cepat pada modernisasi dunia sebagai efek samping yang tak terduga.
Dari berbagai permasalahan lingkungan mulailah muncul sebagian penelitian besar yang fokus pada pembelajaran rezim lingkungan hidup, terutama menggunakan kerangka teori yang berkembang dari neoliberalisme, di mana permasalahan lingkungan hidup juga dianggap sebagai isu area yang baru atau permasalahan politik baru. Pada akhir abad 20 pertumbuhan green IR theory mulai dipertanyakan asumsi dasarnya, unit pembelajarannya, kerangka kerja analisis, dan nilai implisitnya dari disiplin HI. Green IR theory banyak menggambarkan radikal dirkusus dari luar disiplin HI, hal ini telah membantu untuk menjelaskan apa yang disebut kebutaan ekologis teori HI. Green IR theory menggambarkan kritik terhadap mainstream yang menggunakan pendekatan rasionalis, neo-marxisme yang menginspirasi International Politics Economy (IPE) dan teori normatif hubungan internasional dari orientasi kosmopolitan. Ini adalah gelombang baru dari green scholarship untuk menafsirkan kembali beberapa konsep sentral dan diskursus dalam HI dan politik global, menantang pemahaman tradisional tentang keamanan, pembangunan dan keadilan internasional dengan diskursus baru dari keamanan ekologi, kesinambungan pembangunan serta keadilan lingkungan hidup.
Tidak sampai akhir tahun 1980 terlihat jelas bahwa “green” social dan teori politik muncul untuk memberikan suara saling berkaitan mengenai gerakan sosial baru yang membentuk green politics. Gerakan ini mempelopori gelombang formasi dari green parties baru pada tahun 1980 secara lokal, nasional dan regional (di Eropa) yang berpijak pada 4 pilar green politics, yaitu tanggung jawab ekologikal, keadilan sosial, tanpa kekerasan dan grass roots democracy. Pilar-pilar ini menyediakan platform untuk formasi green party yang baru di seluruh dunia termasuk Afrika, Amerika Latin dan Asia. Green politics adalah diskursus politik global yang baru dan praktis, muncul sebagai oposisi dari globalisasi neoliberal.
Green political theory juga mempunyai cabang normatif yang memusatkan perhatian pada keadilan, hak, demokrasi, kewarganegaraan, negara dan lingkungan hidup, ada juga cabang ekonomi politik yang memusatkan perhatian pada pemahaman hubungan antara negara, ekonomi dan lingkungan hidup. Pada awalnya green political theory mengkritik kapitalisme barat dan komunisme ala Soviet yang keduanya memperlihatkan esensi yang berbeda mengenai industrialisme, keduanya memiliki pandangan yang berbeda terhadap peran negara dan pasar. Green politics mengkritik bahwa  industrialisme merupakan bagian dari ide-ide tentang ide kemajuan dan kebaikan modernisasi warisan dari abad Pencerahan. Di mana baik liberalisme dan marxisme ortodox memperlihatkan pembangunan yang berbasis pada premis kornukopian yang berasumsi bahwa sumber daya alam dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang tak terkendali dan meningkatkan pertumbuhan teknologi. Teori green politics mengambil isu dari warisan abad pencerahan ini dan menyorot ekologi, sosial dan psikologi pada proses modernisasi. Mereka mengkritisi peran manusia dalam berhubungan dengan alam, bersama dengan bentuk-bentuk tradisional pertanian. Green theory melahirkan pusat ekologi yang baru atau biasa disebut filosofi ekosentris yang berusaha menghargai segala bentuk kehidupan tidak hanya nilai instrumental manusia. Dari perspektif ekosentris, pemerintahan lingkungan hidup secara global seharusnya melindungi tidak hanya kesehatan dan kesejahteraan komunitas manusia dan generasi masa depan tetapi juga jaringan besar kehidupan, membuat sarang komunitas ekologi.
Green scholarship telah menghasilkan konsep keadilan lingkungan hidup yang baru, transnasional, mengglobal, ada pula hak lingkungan hidup, demokrasi lingkungan, dan lain sebagainya. Ini telah meningkatkan hubungan green political theory dengan beberapa teori normatif HI yang memperhatikan HAM, demokrasi kosmopolitan, masyarakat transnasional. Ini jelas termasuk ke dalam cabang teori normatif HI yang memperhatikan keadilan lingkungan secara global.
Selain memperhatikan lingkungan hidup, para green scholarship juga memperhatikan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu mereka menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan. Ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara perhatian terhadap ekologi dan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 1992 diadakanlah UN Conference on the Environment and Development (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil. Masalah lingkungan hidup telah mendorong munculnya kerjasama intenasional baru-baru ini, dapat dilihat dari kemunculan rezim intenasional mengenai isu lingkungan hidup.
Kaum ekoradikal menyerukan perubahan bukan hanya pada organisasi ekonomi namun juga pada organisasi politik. Mereka berpendapat bahwa negara lebih merupakan masalah daripada sebagai solusi dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup. Negara adalah bagian dari masyarakat modern, masyarakat modern adalah sebab dari krisi lingkungan hidup (Carter dalam Jackson & Sorensen, 1999).
Yang perlu dikritik adalah terlihat sangat jelas bahwa kaum ekoradikal mengabaikan pandangan konvensional dalam hubungan internasional berdasarkan sistem negara. Jika kita terlalu memperdalam keyakinan pada pandangan ini, maka kita akan membuang semua pandangan dari kaum tradisional HI sebelumnya, secara otomatis teori tradisional HI tidak akan dipakai lagi.



Referensi         :
Jackson, Robert & Sorensen, Georg, 1999. Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press Inc.
Eckersley, Robyn, 2007. Green Theory, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 247-265.

Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

By : Unknown
Hukum humaniter internasional merupakan penyebutan baru bagi hukum perang. Hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan cara melakukan perang itu sendiri (Kusumaatmadja dalam Wagiman 2005, 5). Perkembangan hukum humaniter internasional sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Penetapan instrumen internasional dalam bidang HAM telah memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati HAM, baik dalam situasi damai maupun perang.
Pada awalnya kemunculan hukum humaniter internasional ini tidak lepas dari seorang pemuda Swiss, Henri Dunant, yang memiliki pemikiran tentang langkah internasional untuk mengurangi penderitaan orang yang terluka dalam perang (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 2). Dunant menulis buku berjudul Un Souvenir de Solferino yang memberikan saran mengenai terbentuknya perkumpulan nasional untuk merawat korban perang tanpa diskriminatif. Dunant juga menyarankan agar negara-negara membuat perjanjian yang mengakui kegiatan organisasi dan menjamin perlakuan baik terhadap korban perang. Dunant membentuk komite internasional yang sekarang dikenal sebagai Komite Palang Merah Internasional. Kemudian ide Dunant tersebut diperluas, mendorong beberapa negara untuk mendirikan perkumpulan nasional dan menyelenggarakan konferensi diplomatik terkait korban perang.
Hukum humaniter internasional yang saat ini diberlakukan di dunia didasari oleh dua konvensi utama, yaitu Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa. Konvensi Den Haag 1907 mengatur mengenai cara memulai perang atau permusuhan. Perang harus disertai pernyataan yang mendasari alasan berperang. Keputusan diambil untuk membuat langkah awal dan ditetapkanlah Konvensi Jenewa yang baru, mencakup penghormatan atas orang yang sakit dan terluka dalam pertempuran darat, anggota militer yang terluka, sakit dan terdampar, serta tawanan perang, dan korban dari penduduk sipil (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 3). Berdasarkan konvensi tersebut, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Orang-orang yang dilindungi dalam hal ini merujuk pada orang-orang yang berpartisipasi dalam perang atau yang menjadi korban perang. Konvensi Jenewa tetap berlaku, namun telah mengalami penegasan kembali dan menetapkan dua protokol tambahan. Protokol I mengatur tentang perlindungan bagi korban pertikaian internasional. Protokol II terkait korban akibat pertikaian bersenjata dalam negeri, seperti pemberontakan. Kedua protokol tersebut berisi ketentuan-ketentuan spesifik mengenai peraturan di dalamnya.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan atau distinction principle. Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil). Selain itu, Wagiman (2005) menuliskan ada lima asas utama dalam hukum humaniter internasional, yaitu 1) asas kepentingan militer dimana pihak yang bersengketa dibenarkan melakukan kekerasan untuk menundukkan lawan; 2) asas perikemanusiaan dimana para pihak yang bersengketa tidak boleh menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka atau penderitaan berlebihan; 3) asas kesatriaan yang menyebutkan bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan sehingga berbagai tipuan dilarang; 4) asas pembedaan, artinya membedakan penduduk para pihak yang berperang ke dalam dua golongan, yaitu mana yang boleh dijadikan sasaran dan tidak; 5) rule of engagement dimana komandan angkatan bersenjata harus mengetahui kapan penggunaan kekerasan diperbolehkan atau tidak.
Namun, meskipun Konvensi Jenewa 1949 telah diadopsi dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata tidak banyak berkurang. Banyak sekali terjadi pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Menurut pandangan umum, pelanggaran tersebut bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan dalam hukum internasional, melainkan lebih disebabkan oleh ketidakpatuhan negara-negara (Henckaerts 2005, 2). Selain itu, sarana yang tersedia untuk menegakkan hukum juga kurang memadai dan tidak adanya ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu. Henckaerts (2005) menyebutkan ada dua kendala serius yang menghambat penerapan hukum humaniter internasional. Pertama, hukum ini hanya berlaku bagi yang meratifikasinya sehingga tidak dapat mengikat pihak yang belum meratifikasi. Kedua, konflik bersenjata yang terjadi selama ini sifatnya non-internasional dan belum diatur secara terperinci dalam hukum humaniter internasional.
            Penegakkan hukum humaniter internasional juga tidak lepas dari peran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 1960an, PBB telah memperluas keterlibatannya dalam pembentukan hukum humaniter internasional. PBB mengadakan konferensi internasional tentang HAM di Teheran pada tahun 1968 yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan harus dikedepankan dalam masa pertikaian bersenjata (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 5). Bersama dengan Palang Merah Internasional, PBB mengajak seluruh anggotanya untuk memberi perhatian pada aturan hukum humaniter internasional yang berlaku. PBB juga menetapkan Resolusi 2444 dimana Majelis Umum menyatakan tidak dapat menerima gagasan untuk memerangi seluruh penduduk dengan tujuan memaksa lawan menyerah (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia t.t, 5). Resolusi tersebut mengakui adanya interaksi antara peraturan untuk melindungi korban perang, menegakkan aturan perang, dan melindungi HAM dalam pertikaian bersenjata.
            Dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter internasional telah berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II. Namun pada kenyataannya, pertikaian internasional tidak banyak berkurang meskipun hukum telah ditegakkan. Hal tersebut dikarenakan hukum humaniter yang masih kurang jelas dan terperinci dalam aturan-aturannya. Oleh karena itu, konvesi terkait hukum humaniter internasional terus memerlukan penegasan kembali.



Referensi:
Henckaerts, Jean Marie. 2005. “International Review of the Red Cross” dalam Study on Customary International Humanitarian Law, Vol. 87, No 857.
Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia. Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia [online] dalam http://pusham.uii.ac.id/files.php?type=data&id=44&lang=id [diakses pada 18 Desember 2014]
Wagiman, Wahyu. 2005. “Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia,” Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005.

Struktur Masyarakat Amerika Latin

By : Unknown
Amerika Latin adalah sebuah wilayah yang pada abad 15 merupakan wilayah kolonisasi Spanyol dan Portugis (Encyclopedia Britannica, tt). Wilayah Amerika Latin diakui meliputi wilayah benua Amerika bagian tengah, selatan dan Kepulauan Karibia, oleh karena itu banyak orang juga menyebutnya Amerika Selatan. Nama Amerika Latin sendiri diambil dari Bahasa Latin yang banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut (Hennida, 2012). Masyarakat asli Amerika Latin adalah suku Indian yang kemudian bercampur baur dengan masyarakat Spanyol dan Portugis sejak masa penjajahan. Hal ini yang pada akhirnya membuat pola kebudayaan yang ada menjadi beragam.
Pada pola kehidupan masyarakat di Amerika Latin ada serangkaian lembaga, nilai-nilai, dan cara perilaku yang biasa disebut dengan cultural common denominator yang membedakan budaya Amerika Latin dari budaya negara dunia barat lainnya (Wagley & Harris, 1955). Pada awalnya kebudayaan asli suku Indian di wilayah tersebut justru dipandang sebelah mata oleh para penjajahnya, namun seiring berjalannya waktu perbedaan budaya yang kompleks dan heterogen justru menjadi perhatian, terutama oleh para peneliti. Meski demikian, heterogenitas pola budaya di Amerika Latin telah melahirkan perbedaan kelas, perbedaan antara penduduk desa dengan kota, perbedaan ras dan berbagai faktor pembeda lainnya.
Komposisi masyarakat Amerika Latin terdiri dari suku asli Indian, orang Eropa, orang Afrika dan mestizo atau keturunan pernikahan campuran suku Indian dengan orang Eropa (Hennida, 2012). Charles Wagley dan Marvin Harris (1955) dalam artikelnya A Typology of Latin America Subcultures membedakan subkultur Amerika Latin menjadi sembilan jenis, di antaranya 1) Tribal Indian yang merupakan budaya asli yang masih tertinggal; 2) Modern Indian yang merupakan hasil percampuran antara budaya asli dengan pola lembaga dan budaya Iberia (Spanyol); 3) Petani yang merupakan masyarakat holtikultura yang terisolasi di kota-kota kecil, biasa disebut dengan mestizos, cholos, ladinos, caboclos dan istilah lainnya tinggal di tempat terpencil, disusul untuk berkumpul ke tempat pemilihan dan memilih bukan karena pemahaman politik tp siapa yg baik ke mreka; 4) Engenho Plantation yang merupakan subkultur perkebunan milik keluarga; 5) Usina Plantation, di mana pertanian memiliki cara modern perusahaan besar; 6) Kota, di mana ada pola kehidupan masyarakat menengah dan atas yang melayani administrasi, pasar dan pusat keagamaan; 7) Kelas Atas Metropolitan,  yang menempati puncak tertinggi dari strata sosial ekonomi di kota-kota besar dan para pemilik perkebunan à lebih memahami politik; 8) Kelas Menengah Metropolitan yang muncul dari kota besar dan memiliki pekerjaan profesionalà susah diamati perilaku politiknya krn tdk punya tipe spesifik; 9) Proletariat Perkotaan, yaitu kelompok pekerja industri dan kasar terampil dan semi-skilled di kota-kota besar. Politik didriver oleh orang2 besar yang ada di upper class saat pemilihan berlangsung.
Adapun yang menjadi isu sentral dalam kehidupan penduduk Amerika Latin, yaitu imigrasi. Imigrasi masih menjadi isu yang menonjol dalam politik Amerika Latin baik di dalam sejarah maupun perkembangan kontemporernya. Di masa yang baru imigrasi telah memicu pertumbuhan penduduk Latin meningkat menjadi 40% di AS (Sierra et al. 2000). Imigrasi sangat berpengaruh dalam kehidupan politik Amerika Latin, sehingga menimbulkan implikasi dalam domestik dan pembuatan kebijakan internasional. Imigrasi memiliki pengaruh pada pola partisipasi politik masyarakat latin dan telah mempengaruhi hubungan antara negara pengirim-penerima, terutama Meksiko dan Amerika Serikat. Oleh karena itu imigrasi menjadi isu publik yang sangat diperhatikan dan telah banyak membantu Amerika Latin membangun ideantitas etnorasial, membentuk perilaku politik dan pengaruh kelompok mobilisasi (Sierra et al. 2000).
Namun sayangnya, pada awal masa imigrasi masih banyak imigran tanpa dokumen mendominasi status imigran Latin ke Amerika Serikat. Hal ini membuat Amerika Serikat harus mengambil keputusan sepihak untuk tetap menjaga kesejahteraan penduduk tetapnya. Di antaranya adalah menerapkan sejumlah strategi untuk mengontrol keberadaan para imigran yang tidak dilengkapi dokumen. Beberapa strategi yang telah dijalankan antara lain memperkuat penyebaran agen-agen Patroli Perbatasan di sepanjang perbatasan, terutama antara Amerika Serikat dengan Meksiko (Sierra et al. 2000). Agen tersebut bertugas untuk mengontrol  yang melintasi perbatasan, serta memfasilitasi perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan para pengusaha untuk turut serta mengidentifikasi buruh imigran tanpa dokumen. Sayangnya, operasi yang dilakukan tidak tepat sasaran dan menghabiskan dana besar.
Langkah lain yang diambil oleh Kongres adalah dengan mengeluarkan Immigration Reform and Control Act (IRCA) untuk mengatasi tingginya jumlah imigran tanpa dokumen (Sierra et all. 2000). IRCA menawarkan pemberian legalitas pada para imigran tanpa dokumen yang menetap untuk jangka waktu  yang lama. Penawaran tersebut mendapatkan antusiasme yang besar dari para imigran karena mereka memang menginginkan pengakuan serta hak sebagai warga negara Amerika Serikat. Sebagian besar imigran yang mendapat legalitas adalah imigran latin. Setelah mendapatkan legalitasnya sebagai penduduk imigran, mereka menginginkan adanya naturalisasi untuk menjadi warga negara yang sah.
Dalam kehidupan politik sendiri pada awalnya masih banyak pemberontakan yang terjadi akibat kolonialisasi Spanyol yang tidak meninggalkan tata pengelolaan negara yang baik (Hennida, 2012). Oleh karena itu muncullah kelompok pemberontak yang merasa tidak puas akan pemerintahan yang ada. Seiring berjalannya waktu, politik negara-negara Amerika Latin kebanyakan berada di posisi sayap kiri atau komunis sehingga pada abad 21 mereka merebut kursi kekuasaan (Morgenstern & Nacif, 2002). Namun isi demokrasi dan demokratisasi juga menjadi topik hangat di Amerika Latin.
Dalam kehidupan ekonomi Perekonomian kawasan Amerika Latin umumnya mengandalkan sumber cadangan minyak, seperti yang terdapat di Venezuela, Argentina, Kolombia, Chile, Peru, and Ekuador (FEALAC, 2010). Di samping sumber daya migas, kawasan ini juga memiliki sumber daya mineral. Di sektor pertanian, kawasan ini memiliki potensi ekspor produk pertanian, antara lain kopi, pisang, gula, tembakau, dan gandum sedangkan Argentina dan Brasil juga memiliki potensi di bidang industri peternakan dan produksi daging. Sementara itu Kawasan Karibia miliki potensi perekonomian pariwisata (FEALAC, 2010). Namun hal ini tidak mampu mendorong posisi Amerika Latin untuk berada di atas pada indeks tingkat kompetitif negara. Hal ini dikarenakan kesenjangan ekonomi antar kelas terlalu besar.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Amerika Latin bersifat heterogenitas yang diikat oleh cultural common denominator. Namun dari heterogenitas tersebut justru muncul perbedaan kelas, perbedaan antara penduduk desa dengan kota, perbedaan ras dan berbagai faktor pembeda lainnya. Selain itu juga terdapat pembagian subkultur masyarakat menurut keturunan dan tingkat pekerjaannya. Adapula migrasi yang menjadi isu publik yang sering dibahas di beberapa wacana Amerika Latin dan Amerika Serikat. Di mana, proses migrasi ini telah banyak mempengaruhi pembuatan kebijakan internasional.
Dilihat dari ulasan di atas, saya berpendapat bahwa imigrasi dilakukan untuk memperbaiki ekonomi individu yang melakukannya. Mereka lebih memilih berpindah ke Amerika Serikat karena melihat sektor pekerjaan yang lebih mapan di sana. Apalagi melihat lemahnya perekonomian Amerika Latin, sehingga mereka memperhitungkan stabilitas finansial ke depan yang lebih baik.





Referensi
Encyclopedia Britannica. History of Latin America (online) diambil pada 04 Maret 2013 dalam http://global.britannica.com/EBchecked/topic/331694/history-of-Latin-America
FEALAC. Deskripsi Umum Hubungan Indonesia – Kawasan Amerika Latin (online) diambil pada 04 Maret 2013 dalam http://fealac.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9&Itemid=125&lang=in
Hennida, Citra. (2012). Masyarakat Budaya Politik Amerika Latin. Cakra Studi Global Strategis Publisher.
Morgenstern, Scott & Nacif, Benito. (2002). Legislative Politics in Latin America. Cambridge University Press.
Sierra, Christine Marie et al. (2000). “Latin Immigration and Citizenship”, dalam PS: Political Science and Politics, 33 (3): 535-540.
Wagley, Charles & Harris, Marvin. (1955). “A Typology of Latin America Subcultures” in American Anthropologyst, Vol. 57, pp 428-451.

- Copyright © Welcome to My World - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -